virapmedia.id
Jakarta – CATATAN penting tentang pemikiran Ketua Umum Partai PANDAI, Dr Farhat Abbas SH MH, di bulan suci Ramadhan 1442 H. Pada tulisan sebelumnya disebutkan adanya kinerja KPK dalam kasus Operasi Tangkap (OTT) Tangan terhadap gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah.
Namun jangan lupakan dua hal dalam paparan Farhat Abbas, ia menyoroti kinerja KPK di era milenial ini dan politik balas budi Nurdin Abdullah terhadap partai pengusungnya saat ia menjadi Gubernur Sulawesi Selatan.
Yang Farhat Abbas catat, indikator keberhasilan kinerja KPK tidak ditentukan oleh banyaknya OTT, tapi justru bagaimana membangun sistem pencegahan yang efektif. Ini yang sebenarnya ingin Farhat Abbas bangun di era kepemimpinannya di Partai PANDAI.
Adagium yang mengatakan “Mencegah lebih baik daripada Mengobati” menjadi salah satu target Farhat Abbas membangun peradaban hukum yang tidak harus beraksi sebelum kejadian. “Manfaatnya jauh lebih baik, insyaallah negeri ini akan makmur dan adil,” tambah Farhat Abbas.
Tidak hanya melalui keilmuan hukum yang mumpuni, sumber tunggal dalam tulisan ini juga mengaku diilhami instrumen metodologi berdasarkan olahrasa dan rasio.
“Reorientasi pendekatan dan pencegahan praktik korupsi sejalan dengan fakta bahwa sebaik apa pun kepala daerah atau pejabat publik, jika dicari-cari kesalahannya pada akhirnya akan ditemukan juga, meski kesalahannya bersifat sistemik,” paparnya lagi.
Masih ingatkah kita pada kasus OTT terhadap mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada? Dalam kasus korupsi dana bansos Dada Rosada memang sulit dijerat, tapi melalui upaya gratifikasi terhadap salah satu hakim PN Kelas I Bandung, akhirnya Dada Rosada di-OTT juga.
Ini pertanyaan mendasar yang sering dilontarkan kebanyakan pengamat, apakah KPK didirikan sebagai anjing penjaga yang terus mengintai kejahatan korupsi?
Begini kata Farhat Abbas, ada kondisi historis persis saat didirikannya KPK, yakni saat mandulnya proses penegakan hukum anti korupsi semasa sebelum orde reformasi.
“Karena itu didirikanlah lembaga add hoc yang khusus menangani korupsi, tapi domain besar korupsi bukan hanya yang telah eksisting. Potensi korupsi yang belum terjadi pun perlu dicegah,” tandas Farhat Abbas.
Ia merasakan masa awal kinerja KPK memang cukup tepat jika berkonsentrasi pada penindakan (OTT) para pihak yang telah menyalahgunakan keuangan negara, termasuk para pihak yang bersekongkol. Perkembangan periode selanjutnya idealnya lebih berorientasi ke pencegahan.
Ini yang perku digarisbawahi, kata Farhat Abbas, jika mengabaikan aspek pencegahan, maka misi besar KPK tak pernah tercapai. Sebab potensi baru korupsi jauh lebih banyak dan besar dibanding pemberantasan. Inilah urgensinya penguatan divisi pencegahan sebagai upaya sistematis dan terencana untuk menekan laju korupsi.
Dalam tulisan lengkap yang disiarkan kanal Youtube Desentral TV, Selasa 20 April 2021 lalu, Farhat Abbas yang pernah eksis menjadi advokat muda berbakat di Kota Bandung awal-awal reformasi itu, jika mencermati reputasi dan karakter Nurdin Abdullah sungguh ideal jika KPK mengedepankan kinerja pencegahan.
“Apa yang dilakukan KPK terhadap Nurdin Abdullah cukup menggambarkan bahwa lembaga anti rasuah ini tampak membiarkan kekeliruan Nurdin yang berada dalam gurita pihak lain,” tandasnya.
Analisa dari informasi yang Farhat Abbas dapatkan, permulaan Nurdin Abdullah terlibat dalam proyek pengadaan infrastruktur di wilayah Sulawesi Selatan tahun anggaran 2020-2021. Sebuah renungan ulang.
Benarkah Nurdin terkena gratifikasi? Masih perlu pembuktian meski Nurdin Abdullah membantahnya. KPK tetap dalam pendirian tentang keterlibatan Nurdin Abdullah dalam proyek infrastruktur itu.
Politik Balas Budi
Sekali lagi, ditandaskan Farhat Abbas, proses hukumnya masih berjalan perlu pembuktian dan litigasi. Namun demikian ada hal yang lebih substantif yang perlu kita analisis lebih jauh, yaitu persoalan politik balas budi.
Boleh jadi, Nurdin memang tetap komitmen untuk tidak menerima apa pun dari proyek Provinsi Sulawesi Selatan. Namun proses politik menuju singgasana orang nomor satu di Sulawesi Selatan sebagai gubernur itu tak bisa diabaikan.
Fakta bicara, Farhat mulai membuka tabir, tak sedikit kepala daerah terjebak pada putusan inner circle (lingkaran dalam) dari komponen partai politik yang dulunya mengusung proses kenaikan ke singgasana. Dalam hal ini pembagian jatah proyek kepada oknum pengurus parpol pengusung sudah menjadi perilaku umum.
Ada yang sangat vulgar Ada pula yang tersembunyi, tergantung personal parpolnya. Urgensi perombakan sistem mencermati gerita tuntutan politiik balas budi itu. Maka jika model Pilkada harus mempersyaratkan prosentase 20% sebagai syarat sah bisa maju sebagai kepala daerah, bahkan presiden, wakil presiden, maka ketentuan ini akan memaksa dibangunnya koalisi antarpartai.
Koalisi ini, menurut pandngan Farhat Abbas, dalam banyak tataran politik faktual tidak mendasarkan pada kesamaan ideologis.
Jika mencermati kasus proses politik Nurdin yang didukung PDIP, PKS, PAN dan PSI saat pencalonan gubernur Sulsel lalu, jelaslah tidak mendasarkan pada kesamaan keterpanggilan ideologis. Dukungan politiknya lebih mengarah pada kalkulasi potensi kemenangan.
“Sangat wajar, yang menjadi masalah, dukungan politik itu selalu konvensional. Nurdin Abdullah untuk analisis permulaan lebih mudah menguak bagaimana distribusi gratifikasi pada sejumlah elemen parpol pendukungnya,” kata Farhat.
Amandemen UUD’45?
Karena itu, sebuah urgensi yang perlu dibangun lebih jauh adalah persyaratan persentase minimal 20% itu harus segera dienyahkan. Berarti perlu merevisi Undang Undang Pemilu.
Revisinya juga perlu mengkaji lebih jauh tentang mekanisme pemilihan, apakah tetap langsung atau perwakilan. Jika sistem perwakilan oleh DPRD berarti harus dilakukan amandemen ke-5 UUD 1945.
Kita bisa membayangkan gagasan atau upaya mengembalikan sistem Pilkada tak langsung akan dinilai setback secara demokrasi. Tapi pemikiran ini menjadi urgen untuk dilihat kembali dalam perspektif mengurangi dampak penularannya dalam kaitan gerak pembangunan yang steril dari bayang-bayang inner circle parpol.
Farhat Abbas memaklumi, sistem Pilkada langsung jelaslah biaya tinggi alias high cost, sementara money politic menjadi bagian integral dalam sistem pemilihan langsung.
Sebuah renungan ala Farhat Abbas, seberapa banyak kandidat yang mumpuni secara finansial untuk memasuki kontestasi itu. Relatif terbatas dan data faktual ini menjadi pintu masuk bagi kalangan pemodal untuk ikut bermain dalam wilayah Pilkada, bahkan pemilu nasional.
Persoalannya berlanjut manakala sang kandidat yang diusung menang, maka satu-satunya pengembalian balas budi adalah memberikan konsensi pekerjaan atau proyek. Sebab, Farhat juga memaklumi, kita tahu gaji atau home pay kepala daerah sebagai gubernur apalagi bupati atau walikota jelaslah masih terbatas, tidak cukup untuk mengembalikan pundi-pundi yang telah dikeluarkan.
Karena itu memberikan konsensi balas budi politik itu tak jauh dari dunia proyek. Karena itu sistem pemilu langsung ini memang Sudah Selayaknya dikoreksi atau direvisi meski dalam undang-undang pemilu terdapat sanksi tegas bagi tindakan money politic.
Ketentuan itu mandul, perlu alat bukti tindakan money politic membuat ketidakmungkinan pengadilan bisa menjatuhkan sanksi kepada pemberi atau pun penerima dana politik itu. Akibatnya money politic menjadi bagian integral perhelatan Pilkada atau pun nasional.
Akhirnya, sepakat atau tidak menurut pandangan Farhat Abbas, kita perlu menggarisbawahi apa yang menimpa pada Nurdin Abdullah selaku gubernur Sulawesi Selatan, bisa dijadikan renungan konstruktif meski Nurdin Abdullah sampai detik ini diyakini sebagai orang bersih.
Namun demikian para pihak yang mengitarinya dari anasir parpol atau pemodal sangat mungkin untuk melakukan sejumlah hal yang merugikan kepentingan Nurdin Abdullah, bukan dalam rangka menjatuhkan secara personal tapi menggiring Nurdin pada area tapi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) secara terselubung.
Farhat Abbas mewanti-wanti, waspadalah Ini jebakan maut sehingga orang sebersih Nurdin Abdullah pun bisa tersandung perjalanannya untuk dan atau atas nama menjaga sosok pemimpin bersih.
Atau, lainnya yang tentu bermanfaat bagi daerah dan bangsa ini kiranya tidaklah berlebihan Partai Negeri Berdaulat Indonesia (PANDAI) menyampaikan pemikiran untuk merombak sistem pemilu bahkan sistem ketatanegaraan yang jauh lebih sehat, lebih aspiratif dan lebih berarti, tak selayaknya orang bersih, kapabel, dan berintegritas menjadi korban sistem.
Dan yang terakhir tidak kalah pentingnya KPK sudah seharusnya melakukan reorientasi pendekatan, memperkuat divisi aksi pencegahan, jauh lebih educated dan sangat mendasar. Rakyat Berdaulat Negeri Sejahtera.
Editor : Dari Berbagai Sumber